Jumat, 02 Maret 2012

Muslim sejati

MUSLIM SEJATI


orang-orang yang beriman yang selalu dimuliakan oleh Allah Swt…Selaku hamba allah kali ini, izinkanlah saya berwasiat baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Lebih dari 50 kali di dalam Al-Quran Allah Swt berfirman: Ittaqullâh, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah! Pengulangan yang teramat sering ini menunjukkan bahwa, takwa sangatlah penting artinya bagi setiap muslim. Karena hanya dengan takwa kepada Allah sajalah, kita akan dapat hidup bahagia, baik di dunia ini maupun di akhirat.

Melalui hamba allah kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi tentang bagaimana kiat membentuk diri ini menjadi seorang muslim sejati?

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh...
Saat ini, banyak orang mengaku dirinya sebagai muslim. Data statistik dunia terakhir menunjukan ada 1,7 milyar lebih di dunia ini jumlah penduduk dunia yang beragama Islam. Tapi, dari sekian jumlah yang ada itu, sangat sedikit yang memiliki kepribadian sebagai seorang muslim. Selebihnya, mempunyai kepribadian terpisah (split personality). Orang semacam ini agamanya saja sebagai muslim, namun, perilaku, sikap, dan tindakannya sama sekali tidak menunjukkan keislamannya. Kalau demikian adanya, bagaimana Islam dapat menjadi rahmah? Jika para pemeluknya tidak memahami, menghayati dan mengamalkan Islam? Persis seperti apa yan telah disinggung oleh rasulullah Saw:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ (سنن أبي داود: 3745)

Rasulululullah Saw bersabda: “suatu saat nanti kalian akan dikeroyoki oleh berbagai suku bangsa seperti mereka mengeroyoki makanan”. Salah seorang bertanya: “Apakah kami saat itu minoritas ya Rasululullah?” “Tidak”, jawab Rasulullah, “bahkan kalian saat itu mayoritas, tetapi hanya bagai busa. Allah hilangkan rasa takut di hati musuh-musuh kalian dan Allah tumbuhkan di dalam hati kalian kehinaan! Lantas ada yang bertanya: “Kehinaan bagaimana ya Rasululullah?” Nabi pun menjawab: “cinta dunia dan takut mati”.

Lihatlah kondisi masyarakat kita saat ini yang berada dalam keadaan lemah, hina, rendah diri, terbelakang, dan ditimpa berbagai krisis maupun perpecahan. Lengkap sudah segala penderitaan yang ada, berbagai simbol negatif pun tersematkan di dada-dada bangsa kita, bangsa yang tidak beradab dan tidak bermoral! Padahal dahulu Indonesia di kenal sebagai bangsa yang sangat santun dan welas asih! Mengapa ini bisa terjadi? Nyawa manusia lebih rendah harganya dari sekarung beras. Hanya karena gara-gara dituduh mencuri uang sepuluh ribu rupiah, seseorang dapat menemui kematiannya. Atau hanya karena sepedanya dipinjam tanpa ijin, seseorang berani membunuh kawan sekerjanya sendiri. Di mana-mana kerusakan merajalela, kebodohan, dekadensi moral dan hal-hal negatif lainnya. Indonesia telah mengalami krisis diberbagai aspek kehidupan, krisis multi dimensial!

Kondisi semacam ini tidak mungkin terus menerus dibiarkan. Siapapun yang merasa sebagai muslim yang memiliki ghirah (semangat) keislaman, tidak akan merelakan hal ini. Agama kita bukan agama fardiyah (individual), tetapi agama pemersatu (ummatan wahidah), bahkan satu jasad. Jika sakit salah satu anggota tubuh, maka yang lain akan merasakannya. Islam bukan hanya agama ibadah. Tetapi merupakan the way of life (jalan hidup) yang paripurna, mengatur segala urusan dunia-akhirat. Agama kita mengajak kepada wihdah (persatuan), al-quwwah (kekuatan), al ‘izzah (harga diri), al-‘adl (keadilan), dan juga kepada jihad (perjuangan).

Maka, misi risalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) ini bertujuan untuk memberikan hidayah (petunjuk) manusia pada agama yang haq, yang diridhoi Allah. Fungsi Islam yang menyejukkan bagi seluruh umat manusia ini, tidak mungkin terwujud, kecuali jika benar-benar diamalkan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, atau mempunyai jati diri sebagai seorang muslim. Karenanya, semua itu pasti berawal dari diri, lalu keluarga, masyarakat dan lingkungan.

Sebagaimana kita tahu, hidup merupakan suatu perjalanan dari satu titik ke titik yang lain, beranjak dari garis masa lalu, melewati masa kini, untuk menuju masa depan. Masa lalu adalah sebuah sejarah, masa kini adalah realita dan masa yang akan datang adalah cita-cita. Sebagai seorang muslim, tentunya kita tidak akan membiarkan hidup ini sia-sia. Hidup di dunia ini menjadi terlalu singkat jika hanya dipenuhi dengan keluhan-keluhan, kegelisahan, rasa pesimis dan angan-angan. Jiwa-jiwa seperti itu,tidak mencerminkan jati diri seorang muslim sejati. Rasulullah Saw bersabda:

“Seorang muslim tidak akan pernah ditimpa kecuali kebaikan, apabila ditimpa kejelekan ia bersabar, dan jika dilimpahkan kenikmatan ia bersyukur.”

Seorang Muslim tidak akan pernah mengeluh menghadapi kehidupan, karena ia telah memiliki kepribadian yang utuh dalam menghadapi segala macam ujian hidup.

Untuk menjadi pribadi muslim sejati, sesuai dengan apa yang digariskan oleh Islam, sudah semestinya memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadits, juga telah dipraktekkan oleh para Sahabat Nabi maupun salafus shâleh, yaitu pribadi yang sikap, ucapan dan tindakannya terwarnai oleh nilai-nilai yang datang dari Allah Swt dan rasul-Nya. Nilai-nilai tersebut, jika disederhanakan, setidaknya ada sepuluh sifat yang mesti melekat di dalam diri seorang muslim:

1. Salâmatul ‘aqîdah (Keyakinan yang benar)Hidup di dunia ini bagai orang yang tengah mengadakan suatu perjalanan. Coba anda bayangkan, seandainya dalam suatu perjalanan anda tidak mengetahui arah mana yang akan anda tuju. Di terminal bus, di dermaga, atau di bandara, anda terduduk sambil bertanya hendak kemanakah diri ini harus pergi? Apa yang akan terjadi? Sudah bisa dipastikan anda akan mudah tersesat. Mengapa? Karena anda tidak mempunyai keyakinan pasti untuk sampai kepada suatu tujuan. Demikian halnya dengan perjalanan seorang muslim di dunia ini, dia harus mempunyai keyakinan yang lurus, sebagai sarat untuk dapat sampai kepada tujuannya.

Ada enam hal yang membuat seorang muslim yakin terhadap tujuan perjalanannya. Iman (yakin) kepada keberadaan Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari akhir, dan Qadla-Qadar. Sebagaimana Sabda nabi Saw:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Nabi Saw bertanya kepada Jibril As:”Beritahukan aku tentang iman? Jibril menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun buruknya”.

Keyakinan terhadap Allah membuat Muslim selalu dalam keadaan optimis akan pertolongan-Nya. Yakin terhadap Malaikat membuat Muslim menyadari bahwa makhluk Allah yang paling taat ini, akan selalu mencatat segala perbuatannya di dunia, sehingga amal perbuatan Muslim selalu dipenuhi dengan hal-hal positif. Yakin terhadap kitab, membuat muslim selalu membaca panduan hidupnya setiap saat. Yakin terhadap Rasul, membuat Muslim memantapkan langkahnya hidup di dunia, bahwa Allah tidak meninggalkannya tanpa pemandu perjalanan yang panjang ini. Yakin terhadap hari akhir, membuat muslim tahu akan tujuan akhirnya. Iman kepada qadla dan qadar membuat muslim menyadari akan tanggung jawabnya hidup di dunia, sehingga tidak terjatuh pada keyakinan jabariyah atau keyakinan qadariyah.

2. Shihhatul ‘Ibâdah (Ibadah yang benar)
Anda sekarang sudah yakin dengan perjalanan yang sedang anda lakukan ini. Tinggal bagaimana anda harus melaluinya dengan baik, sehingga tidak tersesat. Karenanya, ibadah adalah implementasi dari sebuah keyakinan. Yang perlu kita sadari adalah, bahwa ibadah dalam Islam bukanlah merupakan taklif (pembebanan), melainkan tasyrif (pemuliaan) dari Allah Swt. Ketika seorang manusia dijuluki oleh Allah ‘ibadullah, maka ia termasuk orang-orang yang dikasihi-Nya.

Ibadah dalam Islam bukan hanya mencakup ritual keagamaan semata, semisal: shalat, zakat, puasa dan haji, tetapi semua lini kehidupan di dalam memakmurkan dunia ini yang tidak bertentangan dengan landasan Al-Quran dan Sunnah, semisal mencari nafkah secara halal, berhubungan baik dengan keluarga, menuntut ilmu dan lain sebagainya. Sebagaimana firmannya:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الجمعة: 10)

“Jika shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.
Demikianlah, seorang Muslim harus memahami arti ibadah dengan benar. Ibadah yang benar lahir dari aqidah yang benar. Ibadah yang benar adalah ibadah yang membawa pengaruh bagi dirinya, orang lain dan melahirkan ketaqwaan.

3. Matînul Khulûq (Akhlaq yang kokoh)Memang, menjadi orang baik itu sulit, namun amat mudah bagi yang memiliki tekad dan kemauan. Awal dari segala sesuatu itu susah. Namun, jika anda sudah terbiasa, anda tidak akan pernah mengatakannya sulit. Ingatkah Anda ketika pertama kali anda belajar naik sepeda? Mungkin anda pernah berfikir, bagaimana caranya menjalankan sepeda yang hanya mempunyai dua roda. Pertama yang anda lakukan adalah duduk di sadel, menurunkan kedua kaki di tanah, dan tangan memegang kendalinya. Semuanya berjalan dengan baik. Lalu, salah satu dari anda mulai untuk menggenjot sadel di satu sisinya. Anda gugup, baru beberapa meter, anda kehilangan kendali dan ups… terjatuh.

Setelah beberapa kali mencobanya, anda sudah mulai terbiasa memegang kendali, menjaga keseimbangan dan menggenjot pedal dengan nyaman. Anda sudah lupa, kesulitan pertama kali menjalankannya, dan ternyata naik sepeda itu nikmat. Demikianlah, ketika anda berlatih mengendalikan diri, membiasakan dengan hal-hal yang baik, dan menjauhi sikap-sikap yang tidak berguna. Semakin dibiasakan, perilaku itu keluar dengan sendirinya secara otomatis. Inilah yang disebut akhlaq, yaitu perilaku yang keluar secara otomatis, dan mencerminkan ekspresi diri seseorang di segala tempat dan waktu. Jadi, akhlaq bukanlah perilaku kondisional, yang hanya diekspresikan pada waktu-waktu tertentu saja, tetapi memiliki akhlak yang komit, tidak fluktuatif, dan tidak berubah dalam kondisi bagaimana pun. Allah Swt berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ (القلم: 4)
"Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung". (QS. Al-Qalam :4)

4. Tsaqôfatul Fikr (Wawasan pengetahuan yang luas)
Menjalani kehidupan di dunia ini tidak hanya sekedar mengandalkan keyakinan, ibadah dan akhlaq. Siapapun orangnya, ketika sedang melakukan perjalanan pasti membutuhkan pengetahuan tentang apa yang sedang ia tuju. Ketika anda hendak beranjak ke Kairo, misalnya, anda tentu mencari informasi tentang kondisinya, cuacanya, budayanya, makanannya, dan hal-hal lain yang perlu anda persiapkan sejak dini. Dengan informasi itulah anda mampu mengira-ngira apa yang dapat anda kerjakan sekarang, untuk persiapan nanti.

Begitu pula halnya dengan kehidupan yang sedang kita jalani ini. Anda tentu membutuhkan informasi-informasi yang diperlukan dalam melanjutkan perjalanan hidup. Wawasan itulah yang akan memandu perjalanan hidup anda. Proses yang sedang anda jalani dalam hidup ini juga tidak lepas dari pengalaman-pengalaman yang akan menjadi guru terbaik bagi anda. Allah Swt berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ (الزمر: 9)

“Katakanlah: “Apakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesunguhnya hanya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Karenanya, bagi seorang muslim, mencari ilmu pengetahuan merupakan salah satu kewajiban.

5. Quwwatul Badân (Tubuh yang kuat)
Kesempurnaan itu dambaan setiap orang. Masing-masing akan mencoba mencapai kesempurnaan diri, sesuai dengan kemampuannya. Dengan kekuatan itulah setiap orang akan berusaha mencapai keseimbangannya. Seahli apapun anda mengendarai sepeda, jika ban di rodanya kempes, tentu anda tidak akan dapat berbuat banyak, hingga ban itu baik kembali.

Karenanya, persiapkanlah jasmani Anda sebaik mungkin untuk dapat melanjutkan perjalanan anda secara vit dam prima. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Nabi bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ (مسلم وابن ماجه وأحمد)

"Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”. (HR. Muslim, Ibnu majah dan Imam Ahmad)

Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Namun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi.

6. Al-Qudrah ‘ala al-Kasbi (Mampu mencari nafkah)Sekarang, anda sudah sedikit-banyak, mengerti tentang bagaimana seharusnya menempuh perjalanan hidup ini. Sebagaimana seseorang yang sedang dalam perjalanan, anda harus mempunyai dua bekal. Pertama, bekal persiapan untuk tujuan akhir nanti setelah sampai tujuan. Yang kedua, bekal dalam perjalanan.

Nah, begitu pula di dunia ini. Hidup di dunia adalah suatu perjalanan, tujuan kita adalah akhirat. Namun, persiapan bekal untuk akhirat, tidak menutup kita untuk mempersiapkan bekal dalam perjalanan hidup di dunia ini untuk diri sendiri dan keluarga. Rasulullah pernah mengingatkan kita untuk bisa menyeimbangkan antara keduanya. “Bekerjalah untuk duniamu, seakan-akan kau akan hidup selamanya. Dan beramal buat akhiratmu, seakan-akan kau akan menemui ajal esok pagi.”

Agama kita melarang umatnya untuk bersikap santai, bermalas-malasan dan bertopang dagu. Para sahabat mencontohkan, jika terdengar adzan maka mereka segera ke masjid, jika selesai melaksanakan kewajibannya maka mereka kembali bertebaran di muka bumi untuk kembali melanjutkan usahanya sambil berdoa,”Ya Allah, kami telah memenuhi panggilan-Mu dan telah melaksanakan apa yang telah Engkau wajibkan, sekarang kami menyebar (berusaha) sebagaima Engkau perintahkan, maka berilah kami rizki karena Engkaulah sebaik-baik Pemberi Rizki.

7. Nâfi’an li Ghairihi (Bermanfaat bagi lainnya)
Banyak orang yang menyangka, bahwa keberhasilan adalah semata-mata kesuksesan yang diperoleh seseorang secara individu. Kita akan merasa bangga telah berhasil memperoleh gelar sarjana, majister, atau bahkan doktor. Atau kita merasa bangga telah memperoleh keuntungan bermilyar-milyar, masuk dalam kantong sendiri. Benarkah itu yang disebut keberhasilan dalam pribadi seorang Muslim?

Seorang muslim yang berhasil adalah yang mampu menjadi pelita bagi sekelilingnya. Ia mampu menerangi keluarga dan masyarakatnya, dengan sikap, perilaku, ilmu, harta, dan amal nyata. Pantulan dirinya sebagai muslim benar-benar dirasakan, sehingga dapat menebar kesejukan orang-orang yang bersamanya. Sebaik-baik muslim adalah yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Relevan dengan sabda Rasulullah Saw:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ (رواه أحمد)

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang selalu diharapkan kebaikannya dan aman dari kejahatannya, adapun seburuk-buruk kalian adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak aman dari kejahatannya.” (HR. Ahmad)

8. Hârisan ‘ala waqtihi (Mampu mengatur waktu)Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur'an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.

Banyak masalah yang timbul, karena seseorang tidak mampu mengatur waktunya dengan baik. Ia tidak bisa mencapai target dari rencana. Ia kehilangan beberapa momen penting, hanya karena waktu yang telah berlalu begitu saja di hadapannya. Untuk itu, pribadi Muslim selalu siap dengan situasi dan waktu. Ia dapat mengatur seberapa banyak waktu untuk beribadah mahdhah, dan untuk bermu’amalah. Semuanya perlu diatur sehingga seimbang.

Waktu adalah kehidupan, sehingga orang yang tidak bisa mengatur waktu akan kehilangan momen hidupnya, bahkan bisa tergilas dengan waktunya sendiri. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan:

الوقت كالسيف فإن لم تقطع به فإنه قطعك!

“Waktu itu bagaikan sebilah pisau, jika tidak kamu gunakan untuk memotong, niscaya ia yang akan memotongmu!”
Sehingga seorang muslim tidak akan menjadi manusia yang merugi sebagaimana yang disinyalir dalam QS. Al Ashr:1-3.

9. Munâzhzhoman fi syu’ûnihi (Mampu mengatur urusannya)
Hidup kita di dunia ini penuh dengan berbagai aktifitas yang luar biasa banyaknya. Karena itu, sebagai seorang muslim harus pandai untuk memilah dan memilih, mana saja aktifitas yang sesuai dengan pandangan hidupnya sebagai seorang muslim berdasarkan skala prioritas. Karena pada prinsipnya, tugas atau kewajiban itu lebih banyak daripada waktu yang tersedia.

Dengan kata lain, suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme harus selalu diperhatikan. Nabi bersabda:

10. Mujâhidan linafsihi (Berjuang melawan hawa nafsu)
Mujâhadatunnafs merupakan salah satu upaya yang mesti bagi setiap pribadi muslim, karena setiap manusia memiliki kecenderungan kepada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya tekad dan kesungguhan. Karena hawa nafsu adalah sebesar-besarnya jihad di dalam Islam, seperti apa yang telah dikatakan oleh Sayidina Ali Karamallahu wajhah sepulangnya dari peperangan Badar Al-Kubra yang dahsyat dengan mengatakan masih ada jihad yang lebih besar lagi daripada peperangan yang baru saja berlalu. Dalam kesempatan lain Nabi Saw mengatakan:
لا يؤمن أحدكم حتي يكون هواه تبعا لما جئت به (رواه احاكم)
"Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)". (HR. Hakim)

Demikianlah sepuluh sifat yang harus dimiliki oleh setiap muslim agar menjadi muslim sejati sebagaimana yang digariskan oleh Al-Quran dan Sunnah. Hal tersebut tidak akan kita miliki, kecuali dengan amal usaha yang sungguh-sungguh, melalui pendidikan dan pengarahan yang intensif secara berkesinambungan dan kontinyu, hingga akhir hayat kita. Orang yang memiliki kesepuluh sifat ini, insya Allah dapat diandalkan dalam memikul Misi Risalah Islam. Dengan kesepuluh sifat ini, Islam akan benar-benar memancarkan rahmatan lil ‘alamin..
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Hadirin orang-orang yang selalu dimuliakan oleh Allah Swt...Saat ini, ummat sangat membutuhkan pribadi-pribadi yang dapat menyelamatkan mereka dari kebingungan, keterpecahan dan keterpurukan. Siapa lagi kalau bukan anda? Diharapkan kita semua menjadi orang yang dapat menyelesaikan masalah, bukan malah sebaliknya, menjadi orang yang bermasalah atau suka bikin masalah !?

Mengapa Saya Beragama Islam

MENGAPA SAYA BERAGAMA ISLAM

Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْمَلِكِ الْحَقِّ الْمُبِيْنِ، الَّذِي حَبَانَا بِالْإِيْمَانِ واليقينِ، وقال للنبي: (وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ). أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ جَاءَنَا بِالإِسْلاَمِ القَوِيْمِ وَبِالْهُدَي، لِنَكُوْنَ بِهِ مِنَ الأَبْرَارِ السُّعَدَاءِ، وَنَصُوْنُ بِهِ أَنْفُسَنَا مِنَ الشَّقَاءِ وَالرَّدَي.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّد،ٍ خاتم الأنبياء والمرسلين، وعلي آله الطيبين، وأصحابه الأخيار أجمعين، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ.
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt…
Pada kesempatan yang berbahagia ini, di hari jumat yang sangat cerah dan damai ini, izinkanlah saya berwasiat, baik bagi diri saya sendiri, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Karena hanya dengan bekal iman dan takwa sajalah, kita akan selamat, baik di dunia, maupun di akhirat.

Dalam khutbah Jum’at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan akidah dan pemahaman kita tentang kebenaran ajaran Islam. Karenanya saya merasa perlu untuk sedikit menyinggung kekeliruan-kekeliruan ajaran agama lain, utamanya ajaran Kristen, karena agama yang satu inilah yang cukup memberikan penetrasi signifikan bagi kualitas beragama umat Islam Indonesia.

Di sini saya ingin mengatakan, dalam memeluk agama Islam ini, sudahkah kita benar-benar meyakini hakikat dan kebenaran risalah Islam? Apakah kita beragama Islam hanya karena orangtua kita beragama Islam? Ataukah karena memang, kita telah menemui kebenaran dan kesucian hanya ada di dalam Islam? Saya hanya ingin berkata, bagaimanakah sekiranya, jika kita dilahirkan dalam sebuah keluarga yang bukan beragama Islam, akankah kita memeluk agama ini? Akankah kita berupaya mencari kebenaran? Ataukah malah sebaliknya?

Inilah barangkali, materi yang ingin saya sampaikan, agar paling tidak, sejak sekarang, keislamanan kita betul-betul tumbuh dari lubuk hati dan keyakinan kita sendiri, bukan karena pengaruh orangtua, keluarga, teman, atau pergaulan dan lingkungan. Sebab, kalau keimanan kita hanya berdasarkan orangtua, teman, pergaulan atau lingkungan, keimanan kita akan mudah rapuh dan luntur, mudah terombang-ambing di saat badai datang menerpa. Ibarat sebuah pohon, kalau akarnya kuat menghunjam ke dasar bumi, dia akan mampu berdiri dengan kokoh, meski badai datang menerpa, meski gempa datang melanda. Karena di saat ini, ancaman keimanan kaum muslimin semakin berat dan bertubi.

Fitnah yang di arahkan kepada Agama kita ada di mana-mana, entah itu berupa cemoohan, penghinaan, bahkan intimidasi sangat sering kita jumpai di negeri kita Indonesia. Setelah Timor-timur atau yang dikenal dengan Timor Leste lepas dari pangkuan Indonesia, Maluku mulai menampakkan riak-riaknya. Dan kasus Ambon maupun Poso, masih berlarut, tak kunjung usai hingga kini. Terkadang, agama yang diturunkan sebagai rahmatan lil’alamin ini begitu mudahnya dijadikan alat politik, suatu ketika ia dijadikan tumbal dengan label Islam fundamentalis, Islam identik dengan kekerasan, darah, pedang, dan terorisme. Di sisi lain, Ia kerap dijadikan tunggangan politik, hanya untuk meraih dukungan mayoritas.

Cobaan dan fitnah-fitnah tersebut belum lagi selesai, umat ini sudah dihadapakan oleh sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, pada saat yang bersamaan, upaya pemurtadan dari kalangan misionaris agama lain begitu gencar dan sistematis dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang mereka tawarkan: uang, makanan, pakaian, obat-obatan maupun pekerjaan.

Dalam kondisi seperti ini, kalaulah bukan karena pertimbangan negeri akhirat, kalaulah bukan karena mahalnya iman, kalaulah bukan karena demi mencapai ridha Allah, niscaya kita akan mudah teromang-ambing dan tergelincir oleh derasnya ujian dan cobaan tadi.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah....
Dikatakan bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar dan paling lurus. Dari mana kita dapat mengatakan bahwa Islam adalah agama yang paling benar dan paling lurus? Apa dasarnya? Karena semua agama pasti akan mengaku bahwa agamanyalah yang paling benar dan paling lurus ketimbang agama yang lainnya!

Dalam posisi seperti ini, maka rasio atau akal menempati urutan paling atas sebagai parameter yang dapat diterima oleh semua pihak di dalam mengukur kebenaran suatu agama.

Maka berdasarkan akal-lah kita akan berupaya melihat bukti-bukti kebenaran agama Islam dibandingkan dengan agama yang lainnya.

Jamaah sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt....
Diantara bukti kebenaran Islam yang dapat diterima oleh akal adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam mempunyai pedoman hidup yang sempurna dan menyeluruh.
Allah Swt berfirman:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ (النحل: 89)
“­Telah kami turunkan kepadamu Al-Quran untuk menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk, rahmat maupun kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An Nahl: 89).

Tidak ada satu agama pun di dunia ini, baik Kristen, Yahudi, Sinto, Hindu, Budha, maupun Konghucu yang mengatur seluruh kehidupan manusia sampai kepada hal-hal yang paling kecil dan rumit sekalipun, kecuali Islam. Islam sebagai rahmatan lil’alamin telah memberikan petunjuk dan dan arahan sangat sempurna dalam berbagai lini kehidupan, mulai dari masalah perorangan dan masyarakat, moril dan materil, ekonomi dan politik, hukum dan budaya, maupun permasalahan nasional dan internasional, sampai kepada masalah yang dianggap ringan dan sepele, semisal tidur, gunting kuku, dan buang hajat Semuanya ada diatur di dalam Islam. Bagaimana dengan agama lain?

Jika kita menyingung agama Kristen, maka sudah dapat kita pastikan, bahwa agama yang satu ini tidak mempunyai hukum syariat seperti agama Islam. Tidak ada dalam sejarah, bahwa umat kristen memiliki produk hukum seperti umat Islam. Bagaimana bisa kaum kristiani mempunyai kesempurnaan syariat dan hukum, kalau kitab injilnya sendiri baru ditulis 270 tahun sepeninggal nabi Isa As. Menggunakan bahasa yunani lagi! bukan bahasa Asli nabi Isa As sebagai pembawa risalahnya. Umat budha, hindu? Apalagi! Dulu di negeri kita, pernah marak dengan masalah undang-undang perkawinan Islam, yang ditolak mentah-mentah oleh rekan-rekan non-Islam. Mengapa mereka menolak, atau tidak mengusulkan undang-undang perkawinan ala agama mereka? Bukan karena mereka tidak mau, tapi lebih karena mereka tidak memiliki undang-undang perkawinan, pidana, maupun perdata dalam agama mereka.

Tetapi sebaliknya, Islam mengatur seluruh kebutuhan manusia, sejak dia lahir sampai dia meningal dunia, bahkan sampai kehidupan setelah dunia ini.

Kedua: Bersatunya Benda dan Rohani
Islam tidak memisahkan antara kebutuhan benda dan rohani. Malah Islam memandang hidup ini sebagai satu kesatuan antara kebutuhan materi maupun spiritual, dan mengajarkan bahwa kebendaan dan kerohanian adalah dua hal yang selalu harus berdampingan. Sehingga Islam tidak menjadi penghalang antara manusia dan kepentingan hidupnya. Islam mengajarkan umatnya untuk menjadikan dunia sebagai sarana menggapai kebahagiaan akhirat dengan jalan takwa.
Bahkan Al-Qur'an mencela orang-orang yang tidak memanfaatkan ni'mat harta sebagai karunia Allah:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (الأعراف: 32)
“Katakanlah, siapa yang melarang perhiasan Allah yang dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizqi yang baik-baik. Katakanlah, itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan di dunia ini, terlebih pada hari akhirat nanti. Begitulah Aku menjelaskan ayat-ayat-Ku untuk orang-orang yang mengetahui.” (Al-A'raf: 32)
Dalam agama lain tidak ada keseimbangan dua unsur ini. Sebagaimana kita tau, faham kapitalisme begitu mendewa-dewakan materi, bahkan komunisme melupakan wujud dan keberadaan tuhan sama sekali. Berapa banyak pula agama semisal Budha dan Hindu, yang lari dari kenyataan hidup ini, dengan menjalani hidup kerahiban dan pertapaan di goa-goa. Bahkan ada agama yang mengekang fitrah kemanusiaannya dengan mengharamkan nikah bagi sebagian pemeluknya, bahkan bagi para pendetanya.
Ketiga: Ada keseimbangan antara perorangan dan kemasyarakatan
Islam menjamin hak-hak azasi manusia dan tidak membenarkan siapapun juga untuk merobek-robek atau menguranginya. Al-Qur'an menyatakan:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (النجم: 39)
“Dan bahwasanya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah dia usahakan.” (An Najm: 39)
Di lain pihak, Islam selalu menanamkan dalam jiwa manusia rasa tanggung jawab sosial, mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan negara, dan mengikutsertakan setiap orang dalam usaha menegakkan kemaslahatan umum.
Al-Qur'an menyatakan:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ (الذاريات: 19)
"Dan dalam harta kekayaan mereka ada bagian hak yang dibutuhkan oleh yang meminta dan miskin." (Adz-Dzariyat: 19)
Nabi bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur dengan perut kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan, dan dia mengetahuinya.” (Riwayat Al-Bazar)
Keempat, Stabil dan Berkembang
Al-Qur'an dan Sunnah mengandung petunjuk-petunjuk abadi dari Tuhan pencipta sekalian alam, Tuhan yang tidak dibatasi oleh rentang waktu dan dimensi tempat memberi petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan kepentingan perorangan maupun yang bertalian dengan masyarakat, sampai hal-hal yang paling rinci dan sepele dalam kehidupan di dunia ini sebagaimana yang telah kita singgung, apalagi hal-hal besar semacam politik (yang dikenal dalam Islam dengan khilâfah dan Imâmah), masalah keamanan dan kriminalitas (yang dikenal dalam Islam dengan hukum Jinayah), maupun pendidikan yang dikenal Islam dengan ilmu Tarbiyah. Pokok-pokok itu semua telah diajarkan oleh Islam dan ditegaskan kesempurnaannya pada pada saat nabi melaksanakan haji Wada, ketika wukuf di padang Arafah, dengan turunnya firman Allah Swt:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا (المائدة: 3)
“Pada hari ini, telah kusempurnakan bagi kalian agama ini, telah kucukupkan nikmatku, dan telah kuridhai Islam sebagai agama kalian.”
Salah satu kunci kestabilan dan elastisitas Al-Quran yang kekal dan abadi, sehingga tetap seiring dan sejalan dengan perkembangan zaman ini adalah, dengan tetap terbukannya pintu Ijtihad dan Qiyas dalam masalah-masalah yang belum timbul pada zaman nabi, namun Ijtihad dan Qiyas (analogi) harus tetap berdasarkan dalil dari Al-Quran dan Hadis, tidak boleh menyeleweng daripadanya, karena pijakan dan dasar-dasarnya telah di atur di dalam Al-Quran dan Hadis tersebut.
Dalam agama lain methode atau cara semacam ini, tidak ditemukan sama sekali!
Kelima, Universal dan Kemanusiaan
Firman Allah Swt:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)
“Tidaklah Aku mengutus engkau, melainkan sebagai rahmat untuk seluruh alam.” (Al-Anbiya 107).
Menurut ajaran Islam, manusia itu semuanya sama, walau berlainan warna kulit, bahasa, keturunan dan kebangsaannya. Nabi Saw bersabda:
Hadis lain:
كلكم من آدم وآدم من تراب، لا فضل لعربي علي أعجمي الا بالتقوي (الجديث)
“Setiap orang dari kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah, tidak ada perbedaan antara yang Arab maupun yang bukan Arab, semuanya sama, kecuali taqwanya”. (Al hadis).
Islam berpandangan universal, global dan International, karena Islam untuk semua kalangan dan bangsa. Sangat berbeda dengan agama lain semisal agama Kristen. Agama kristen hanya diperuntukkan bagi kaum bani Israel. Nabi Isa sendiri yang telah mengatakan demikian, dan ironisnya, mengapa orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya menyebarluaskannya bahkan memaksakannya?
Di dalam Matius pasal 15 ayat ayat 24 disebutkan: "Ketika seorang perempuan dari Kanaan datang di hadapan Kristus mengemis-mengemis padanya supaya mengobati anaknya, lalu apakah katanya ? Maka jawab Yesus: "Tiadalah aku disuruhkan kepada yang lain, hanya kepada segala domba yang sesat di antara Bani Israil".
Demikian juga di dalam Matius pasal 1 ayat 21 disebutkan: "Maka Ia akan beranakkan seorang anak laki-laki, dan hendaklah engkau menamakan Ia Yesus, karena Ia-lah yang akan melepaskan kaumnya dari pada segala dosanya". Sekali lagi melepaskan kaumnya. Kata kaum di sini adalah “Bani Israil”, tidak lebih.
Dalam kitab Perbuatan Rasul-rasul pasal 5 ayat 31 juga disebutkan: "Ia inilah ditinggalkan oleh tangan kanan Allah menjadi Raja dan Juru Selamat akan mengaruniakan tobat kepada Bani Israil dan jalan ampunan dosa".
Kalau demikian adanya, orang dapat mengatakan, apakah faedahnya orang-orang Kristen menyebarkan agamanya kepada manusia yang bukan Bani Israil. Sedangkan Yesus sendiri tidak berbuat demikian. Apakah cara yang demikian tidak bisa dinamakan melangkahi ajaran Yesus.
Keenam, mudah, rasional dan praktis
Ajaran Islam begitu mudah, masuk akal dan praktis. Baik Al-Qur'an maupun hadis nabi, memerintahkan manusia untuk menuntut ilmu dan menggunakan akal sehatnya.
“Dan sungguh telah Aku jadikan untuk isi Jahannam para jin dan manusia, yang punya hati tidak digunakan untuk mengerti, punya mata tidak digunakan untuk melihat dan punya telinga tidak digunakan untuk mendengar. Mereka tidak berbeda dengan hewan ternak, bahkan lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A'raf 179).
Konsep agama Islam dalam masalah ketuhanan sangat masuk akal, tidak rumit dan njlimet seperti agama lain. Salah satu contoh agama yang tidak masuk di akal adalah agama yang menyembah bebatuan, patung, binatang dan arwah nenek moyang seperti hindu. Ada juga yang menyembah banyak tuhan seperti budha dan Kristen.

Menurut ajaran Kristen, nabi Isa adalah Tuhan anak. Dan Allah tuhan Bapak, sedangkan malaikat Jibril sebagai Roh Qudus, salah satu tuhan dari yang tiga atau trinitas, satu dalam tiga, tiga dalam satu. Bagaimana bisa dikatakan tuhan itu tunggal kalau dia ada tiga? Kalau sistem ketuhanan serumit itu dan tidak masuk akal, sangat bisa dipastikan ada tuhan yang otoritas atau kesewenangannya terbatas atau dibatasi oleh tuhan lain, masuk akalkah ini?
Karenanya tidak mengherankan kalau ratusan ribu, bahkan jutaan orang-orang barat kini telah memeluk agama Islam dengan kesadaran sendiri dan tanpa paksaan. Di Prancis saat ini, umat Islam sudah berjumlah 7 juta jiwa, dan di Amerika Serikat agama Islam menjadi agama tercepat kedua dalam hal pertumbuhannya.
Belum lagi masalah dosa warisan, bahwa setiap bayi yang lahir dari perut ibunya memiliki dosa warisan dari Nabi Adam dan Hawa karena durhaka kepada Allah Swt dengan memakan buah khuldi, hingga diturunkan ke bumi. Seorang anak yang tidak tahu-menahu, bukan karena perbuatannya, telah ditimpakan dosa?! Berarti kalau anak kecil itu meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka, dimanakah keadlilan Tuhan? Sangat kontras dengan Islam, bahwa setiap anak yang baru dilahirkan adalah suci sampai ia mencapai usia akil-balig.
Bernard Shaw berkata: "Saya menghormati agama Muhammad, karena vitalitasnya yang mengagumkan. Agama Muhammad adalah satu-satunya agama yang jelas bagi saya. Saya telah mempelajari kehidupan orang ini, orang yang sangat mengagumkan, diapun sangat jauh dari sifat anti Kristus, dialah semestinya yang mendapat gelar Juru Selamat Kemanusiaan.
Ketujuh, Ajaran-ajarannya Terpelihara dari Perubahan
Ajaran-ajaran Islam dalam Al-Qur'an tetap atas dasar dan nash-nya yang semula sejak 14 abad yang lalu, tanpa berganti satu hurup pun. sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Swt dalam Al-Quran:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافطون
“Kamilah yang telah menurunkan Al-Quran dan kamilah yang akan menjaganya”
Hal ini diakui oleh para kritikus non Muslim. Profesor Reynold A. Nicholson dalam bukunya "Literary History of the Arabs" pada halama 413 menyatakan:
"Al-Qur'an adalah suatu dokumen kemanusiaan yang luar biasa, menerangkan setiap phase hubungan Muhammad dengan segala kejadian yang dihadapinya selama hidupnya, sehingga kita mendapat bahan yang unik dan tahan uji keasliannya, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan Islam sejak permulaannya sampai sekarang. Semua itu tidak ada bandingannya dalam agama-agama Buddha atau Kristen, maupun dalam agama-agama lainnya."
Islam adalah agama yang paling sempurna bagi kemanusiaan, dulu, sekarang dan yang akan datang. Segi-segi itulah yang telah menarik beratus-ratus juta ummat manusia ke dalamnya dari semua kalangan. Mereka semua yakin bahwa Islam adalah agama yang hak dan benar, jalan hidup yang lurus yang seharusnya dilalui oleh manusia. Hal itu akan tetap menarik mereka di waktu-waktu yang akan datang, para manusia yang jiwanya bersih dan ikhlas dalam mencari kebenaran.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah kedua
الحمد لله الملك الوهاب، الجبارالتواب، الذي جعل الصلات مفتاحا لكل باب، فالصلاة والسلام علي من نظر الي جماله تعالي بلا سطر ولا حجاب وعلي جميع الآل والأصحاب وكل وارث لهم الي يوم المآب. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نبي بعده. أما بعد.

Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt...
Kita merasakan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, munkarat masih sangat merajalela. Tindak Kriminalitas, aksi pornografi dan pendidikan mesum kian semarak. Baik tabloid, majalah dan CD-CD porno begitu mudahnya didapatkan, para selebritis dan artis yang ada cenderung meniru gaya Inul, bahkan kian menjadi dan semakin parah.

Di sini saya hanya ingin mengatakan, bahwa membina diri, keluarga maupun keturunan kita di jaman ini untuk menjadi manusia-manusia bertauhid dan berbudi luhur tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan usaha, upaya dan kegigihan. Kalaulah kita mempunyai keturunan, marilah kita arahkan mereka untuk menjadi manusia-manusia yang berbudi luhur dan selamat baik di dunia maupun di akhirat, namun bukan hanya dengan menitipkannya di sekolah atau di pengajian, tetapi perlu adanya tindakan pro-aktif dari para orang tua itu sendiri, sebab pengaruh orangtua atau keluarga sangatlah besar dalam membentuk watak dan kepribadian anak. Masa depan anak dan keluarga baik di dunia maupun di akhirat, merupakan tanggungjawab para pimpinan keluarga, karenanya Allah mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا (التحريم: 6)
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ!

Allah mencitai hambanya

BAGAIMANA ALLAH MENCINTAI HAMBANYA
Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتَهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهُدَاهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. أَمَّابَعْدُ؛

Hadirin jamaah sidang Jum’at yang dimuliakan oleh Allah SWT!
Tidak bosan bagi saya untuk selalu berwasiat, baik bagi diri saya maupun bagi hadirin sekalian, agar kita selalu meningkatkan kwalitas iman dan taqwa kita, karena iman dan taqwa adalah sebaik-baik bekal di dalam meraih kebahagian hidup di dunia maupun akhirat.
Pada kesempatan sholat Jumat kali ini, insya Allah saya akan menyampaikan sebuah materi tentang cinta.
Sebagaimana kita tahu, sangat banyak buku-buku agama bertebaran, entah itu di perpustakaan, toko-toko, atau rak-rak buku, mengajarkan kita bagaimana kiat dan cara kita mencintai Allah. Semuanya berbicara tentang bagaimana cara kita mencintai Allah, atau bagaimana seorang hamba berusaha untuk mencintai tuhannya Yang Maha Tinggi? Jika ada seorang rakyat jelata yang menghormati rajanya yang besar dan agung, itu merupakan hal yang biasa dan tidak aneh! Tapi coba kita lihat, kalau ada orang yang derajatnya lebih tinggi mencintai orang yang martabatnya lebih rendah, itu adalah hal yang langka!
Karenanya pada kesempatan kali ini, saya ingin menyampaikan hal yang agak berbeda barangkali, yaitu bagaimana Allah mencintai hambanya? Mungkin seseorang bertanya atau merasa aneh, mungkinkah Allah SWT sebagai tuhan yang maha agung dan tinggi mau mencintai kita yang hanya sebagai seorang makhluk?
Hadirin sekalian... ternyata Allah sangat mencintai manusia!
Lalu apa sih istimewanya, kalau Allah mencintai kita? Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ فَيَقُولُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ. (رواه البخاري)

Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah SWT jika mencintai seorang hamba, maka Dia memanggil malaikat Jibril dan berkata: “Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia!” Maka Jibrilpun mencintainya, lalu Jibril mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit dan berkata: “Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua, maka seluruh penduduk langit pun mencintainya. Kemudian orang itu pun dicintai oleh segenap makhluk Allah di muka bumi ini.” (HR. Bukhari)
Masya Allah! Lihatlah cinta Allah... bagaiamana Allah mengumumkan cintanya kepada sekalian makhluknya?
Hadirin... marilah kita selami makna hadis ini... bagaimana Allah mencintai seseorang? Pernahkah terbetik dalam hati kita, jika ada salah seorang yang hadir di majelis mulia ini termasuk kepada orang-orang yang dicintai Allah?
Ketika Allah SWT mencintai hambanya, Allah yang maha tinggi tidak hanya cukup mengatakan aku cinta kepada orang ini! Tapi Allah umumkan kepada seluruh penjuru makhluk-Nya! Apa kata Allah dalam hadis tadi?
"إِنِّي أُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ثُمَّ يُنَادِي فِي السَّمَاءِ"
“Wahai Jibril, aku mencintai orang ini maka cintailah dia, lalu jibril pun mengumumkannya kepada seluruh makhluk di langit!”
فَيَقُولُ (جبريل): إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي الْأَرْضِ.
Maka Jibril pun mengumumkan kepada seluruh penduduk langit, para malaikat, para nabi, para wali Allah dari kalangan jin dan manusia, “Sesungguhnya Allah telah mencintai orang ini, maka cintai pulalah dia oleh kalian semua! Kemudian orang itu pun menjadi dicintai segenap makhluk Allah di muka bumi ini.”
Jika seseorang telah dicintai oleh Allah, maka hidup ini terasa tenang, damai, dan tentram penuh kasih sayang, perlindungan dan rahmat-Nya Ta’ala. Apa yang diminta akan diberi, apa yang diinginkan akan terkabul. Segala kebutuhannya akan dipenuhi, dan diakhirat mendapatkan ridho dan perlindungan-Nya dari siksa api neraka. Enak ga’ jadi orang kaya gini? Pasti doong...
Dalam sebuah Hadis Qudsi Allah SWT berfirman:
“من عاد لي وليا فقد آذنته بالحرب”
“Orang yang telah menjadi kekasih-Ku, maka aku akan selalu siap membantunya”
Siapakah Wali atau kekasih Allah itu?
"اَلاَ إنَّ أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون"
“Ketahuilah sesungguhnya para waliyullah tidak merasa takut dan sedih, mereka adalah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa”.
Lalu Allah melanjutkan firman-Nya dalam Hadis Qudsi tadi:
"وما تَقَرَّبَ إليَّ عبدي بشيئ أَحَبَّ إليَّ مما افترضتُهُ عليه ولا يزال عبدي يتقرَّبُ اليَّ بالنوافلَ حَتَّي أحبَّه فإذا أحببتُهُ كنتُ سمعَه الذي يسمع به وبصره الذي يُبْصِرُ به ويَدَهُ التي يَبطِش بها ورجلَه التي يَمشِي بها ولإن سألنيْ لأُعطينَّه ولإنِ استعاذَ بيْ لأُعيذنَّه."
Allah SWT berfirman, “Tidak seorangpun hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling aku cintai, melainkan dengan apa yang telah aku wajibkan kepadanya. Hambaku adalah orang yang selalu mengerjakan ibadah-ibadah nawafil (amalan-amalan sunnah) sehingga aku mencintainya. Ketika aku telah mencintainya, maka akulah yang akan menjadi telinga yang dia gunakan untuk mendengar, mata yang dia gunakan untuk melihat, tangan yang dia gunakan untuk memukul, kaki yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti aku berikan, dan jika dia butuh perlindungan-Ku, pasti aku lindungi.”
Melalui Hadis Qudsi ini, kita bisa memahami bahwa seorang hamba yang sangat istimewa di hadapan Allah SWT adalah seorang hamba yang mampu memadukan antara suatu kewajiban (fara`idh) dengan amalan sunnah (nawafil) . Tidak ada artinya amalan sunnah, atau ibadah-ibadah yang sifatnya sekunder di saat hal-hal yang lebih wajib ditinggalkan. Kita mengerjakan sholat sunnah Dhuha atau shalat Qobliyah dan Ba’diyah misalkan, tetapi harus juga dengan tidak meninggalkan kewajiban sholat yang lima waktu yang fardhu. Kita menunaikan haji ke Baitullah untuk yang ke sekian kalinya, tetapi juga harus dengan melihat apakah orang-orang miskin disekeliling kita sudah tercukupi semua. Jangan sampai kita selalu melaksanakan ibadah sunnah yang dianjurkan oleh baginda Rasulullah Saw, tetapi kita tidak menjaga tali silaturrahmi yang wajib.
Di saat kita bisa memadukan atau mengerjakan antara amalan-amalan yang wajib dan sunnah, maka di saat itulah seorang manusia menjadi lebih istimewa di hadapan Allah SWT. Namun yang perlu untuk selalu kita ingat adalah, bahwa ibadah itu bukan hanya sebatas kepada Allah, terlebih kepada makhluk-Nya di dlam berbuat baik. Dan mesti pula harus dilandasi dengan keimanan dan keikhlasan dalam mengerjakannya. Tanpa keimanan dan keikhlasan, maka semua itu akan hampa, tiada artinya.
Berkaitan dengan betapa Allah SWT sangat mencintai kita manusia sebagai hambanya, ada sebuah hadis yang sering kita dengar yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah r.a :
"فَإِذَا مَضَى ثُلُثُ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفُ اللَّيْلِ نَزَلَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَأَتُوبَ عَلَيْهِ هَلْ مِنْ دَاعٍ فَأُجِيبَه، وذلك في كُلِّ لَيْلَةٍ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ." (رواه البخاري)
“Jika telah lewat tengah malam atau sepertiga malam yang akhir, Allah Yang Maha Mulia dan Agung turun kelangit yang paling rendah (langit dunia), lalu berkata: Adakah orang yang meminta kepada-Ku saat ini, pasti akan aku beri, adakah orang yang memohon ampun, pasti aku ampuni, adakah orang yang bertaubat, pasti aku berikan taubat-Ku, adakah orang yang memerlukan-Ku, pasti akan aku penuhi.” Dan itu terjadi setiap malam hingga terbit fajar”. (HR. Bukhari).
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah SWT…
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita menyembah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT hanya atas dasar cinta kita kepada-Nya, bukan dilandasi oleh rasa takut atas murka dan siksanya, walaupun hal itu juga tidak buruk. Karena Allah juga sangat mencintai kita, bahkan dalam banyak ayat Alquran selalu diawali dengan kasih sayany-Nya terlebih dahulu, seperti firmannya:
“فسوف يأتي اللهُ بقومٍ يحبهم ويحبونه”
“Maka Allah SWT akan mendatangkan suatu kaum yang Allah cintai dan merekapun mencintai Allah”
Terakhir, Rasulullah SAW bersabda:
"سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ" (متفق عليه).
“Ada tujuh golongan yang akan dilindungi Allah dalam lindungan-Nya pada hari tidak ada perlindungan selain perlindungan-Nya: Imam yang adil, pemuda yang rajin beribadah, seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid, dua orang yang saling mencintai, bertemu dan berpisah hanya karena Allah, seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan terhormat dan cantik, lalu ia berkata aku takut kepada Allah, seorang yang menyembunyikan sedekahnya tidak ingin dilihat orang, dan seorang yang mengingat Allah dalam keheningan hingga menitikkan airmata.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua (ke-2)
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ. إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ وَرَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْ كُلِّ صَحَابَةِ رَسُوْلِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ.

رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ. رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. اَللَّهُمَ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَصْلِحْ وُلاَةَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَأَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِهِمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى عَدُوِّكَ وَعَدُوِّهِمْ وَوَفِّقْهُمْ لِلْعَمَلِ بِمَا فِيْهِ صَلاَحُ اْلإِسْلاَمِ وَالْمُسْلِمِيْنَ. اَللَّهُمَ لاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لاَ يَخَافُكَ فِيْنَا وَلاَ يَرْحَمُنَا. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Piagam madinah

TOLERANSI AGAMA DENGAN
BERKACA KEPADA PIAGAM MADINAH

Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ ِللهِ الْعَزِيْزِ الْغَفُوْرِ، اَلَّذِيْ جَعَلَ فِي اْلإِسْلاَمِ الْحَنِيْفِ الْهُدَي وَالنُّوْرِ، اَلَّذِيْ قَالَ: ] وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ[، نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَي حَمْدَ مَنْ نَظَرَ فَاعْتَبَر، وَكَفَّ عَنِ الْمَسَاوِيءِ وازْدَجَر، وعَلِمَ أَنَّ الدُّنْيَا لَيْسَتْ بِدَارِ مَقََرٍّ، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَلَقَ الْخَلاَئِقَ وَأَحْكَامَهَا، وَقَدَّرَ اْلأَعْمَارَ وَحَدَّدَهَا، وَهُوَ بَاقٍ لاَ يَفُوْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، أَمَرَ بِتَذْكِيْرِ الْمَوْتِ وَالْفَنَاءِ، وَاْلاِسْتِعْدَادِ لِيَوْمِ الْبَعْثِ وَالْجَزَاءِ.
اَللَّهُمَّ صَلِّيْ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمَرْسَلِيْنَ وَعَلَي آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ اْلأَخْيَارِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ.
Hadirin sidang Jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt....
Pada kesempatan yang berbahagia ini, di hari jumat yang sangat cerah dan damai ini, izinkanlah saya berwasiat, baik bagi diri saya pribadi, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Karena hanya dengan bekal iman dan takwa sajalah, kita akan selamat, baik di dunia, maupun di akhirat.

Dalam khutbah Jum’at kali ini, saya ingin menyampaikan sebuah materi yang berkaitan dengan toleransi umat beragama melalui bingkai yang Rasulullah Saw tawarkan 14 abad lalu, yaitu Piagam Madinah. Materi khutbah tentang toleransi beragama, di rasa masih sangat signifikan dan urgen, bersamaan dengan gejala masih mengentalnya sentimen-sentimen keagamaan di berbagai kawasan di negeri kita.

Fenomena ini tentunya, merupakan tantangan bagi para cendekia kita untuk segera merumuskan cetak biru toleransi beragama di Indonesia, sekaligus tanggungjawab para ulama untuk memahamkan umatnya akan hakikat toleransi sesuai ajaran agama Islam. Sehingga, hubungan intern dan ekstern antarumat beragama yang lebih baik dapat segera wujud, bukan lagi hanya dalam awang-awang, keinginan dan teori semata, melainkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Konsep Toleransi dalam Islam
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh.…
Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut at-tasâmuh sesungguhnya merupakan salah satu inti ajaran Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain, seperti kasih-sayang (rahmah), kebijaksanaan (hikmah), kemaslahatan universal (mashlahah 'âlamiah), dan keadilan ('adl).

Beberapa prinsip ajaran Islam ini merupakan sesuatu yang qath'iy, ia tidak bisa dianulir atau dibantah dengan nalar apa pun. Dan sebagai kulliyât, ajaran tersebut bersifat universal dengan melintasi rentang waktu dan dimensi tempat (shâlihatun likulli zamânin wa makânin). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran ini bersifat transhistoris, transideologis, bahkan trans-keyakinan-agama.

Merupakan kewajiban mutlak setiap umat Islam untuk berseru dan berdakwah mengajak kepada prinsip-prinsp ajaran Islam ini. Rasulullah Saw bersabda:
قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (رواه البخاري، الترمذي، أحمد، دارمي)
“Sampaikanlah apa yang datang dariku walau pun hanya satu ayat”. (HR. Bhukhari, Tirmidzi, Ahmad dan Darimi)

Sebagai suatu ajaran fundamental atau asasi, konsep toleransi telah banyak ditegaskan dalam Alquran. Di antaranya sebagaimana yang termaktub dalam surat Al Baqarah ayat 256, Allah Swt berfirman:
لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىَ لاَ انفِصَامَ لَهَا وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ. (البقرة: 256)
“Tidak ada paksaan dalam beragama Islam. Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thagut (tuhan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, lagi maha mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 256)

Kebebasan untuk memilih agama dalam ayat ini mengandung maksud, bahwa memeluk agama Islam tidak menghendaki adanya paksaan, melainkan melalui kesadaran dan keinginan pribadi yang bersangkutan. Bagi mereka yang berkenan, dipersilahkan, bagi yang tidak, adalah hak mereka sendiri untuk menolak dengan sepenuh hati. Bahkan ketika ayat ini menggunakan kalimat negatif yang dalam tata bahasa Arab dikenal dengan “lâ nâfiah”, maka ayat ini dapat diartikan sebagai larangan keras bagi kaum muslimin untuk memaksakan ajaran Islam kepada pemeluk agama lain. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang telah menjatuhkan pilihannya kepada agama Islam, sudah seharunya konsisten di dalam menjalankan ajaran agamanya secara baik dan benar. Inilah bentuk toleransi agama yang begitu nyata yang ditegaskan oleh Islam.

Sama halnya dengan Surat Al-Kafirun ayat 1-6:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ . (الكافرون: 1-6)
“Katakanlah (hai Muhammad): "Wahai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak menyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu pun tidak pernah menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Karena untukmulah agamu, dan untukkulah agamaku”

Melalui ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan dalam upacara peribadadatan agama lain, karena ajaran Islam mempunyai batasan-batasan tertentu dalam beribadah dan berkeyakinan. Namun tidak juga memaksakan ajaran Islam kepada mereka, karena "bagi mereka (orang kafir) agama mereka, bagiku (orang Islam) agamaku". Nampak di sini adanya keseimbangan, antara tidak turut campur dalam urusan ibadah agama masing-masing dan tidak memaksakan agama kepada mereka.

Begitu kuatnya penegasan Islam akan toleransi beragama, Surat Al-Mumtahanah ayat 8 menjelaskan tentang tidak adanya larangan bagi orang Islam untuk berbuat baik, berlaku adil dan menolong orang-orang non-Islam. Allah Swt berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”

Melalui ayat ini, Alquran berpandangan, bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk merajut tali persaudaraan antarsesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa, bahwa Tuhan menciptakan planet bumi ini tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacam-macam agama, itu tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, melainkan untuk saling mengakui eksistensi masing-masing (lita'ârafû).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ. (الحجرات: 13)
“Wahai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbilang bangsa dan suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian”. (QS. Al Hujurat: 13).

Lagi pun, bukankah Rasulullah Muhammad Saw diutus sebagai rahmat bagi sekalian alam?

Walhasil, sungguh tidak beralasan bagi seorang muslim untuk tidak menenggang dan bersikap toleran kepada orang lain hanya karena dia bukan penganut agama Islam. Pembiaran terhadap orang lain (al-âkhar) untuk tetap memeluk agama non-Islam adalah bagian dari perintah Islam sendiri. Dengan kata lain, pemaksaan dalam perkara agama --di samping bertentangan secara diametral dengan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang merdeka-- juga berlawanan dengan ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana firman Allah dala surat al-Baqarah ayat 256 tadi: "Tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan". Bahkan, Nabi Saw pernah mendapat teguran dari Allah Swt, yang terekam dalam Surat Yunus ayat 99:

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ.
"Kalau Tuhanmu mau, tentulah semua orang yang ada di muka bumi ini telah beriman, maka apakah kamu (wahai Muhammad) akan memaksa seluruh manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?"

Menjadi hak setiap orang tentunya untuk mempercayai bahwa agamanyalah yang benar. Namun, dalam waktu yang bersamaan, yang bersangkutan juga harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Karena hal itu merupakan masalah pribadi, tidak banyak gunanya memaksa seseorang untuk memeluk suatu agama kalau tidak dibarengi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang pura-pura, tidak serius, dan bohong.

Tidak adanya izin teologis dari sang Maha Pencipta untuk melakukan pemaksaan dalam urusan agama ini menjadi maklum, karena Tuhan telah meposisikan manusia sebagai makhluk berakal yang mampu untuk membedakan dan memilih agama yang diyakini dapat mengantarkan dirinya menuju gerbang kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Allah sendiri telah berfirman:
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا (الكهف: 29)
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin beriman silahkan beriman dan barangsiapa yang ingin kafir silahkan juga ia kafir. Sesungguhnya kami telah menyediakan untuk orang-orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, mereka akan diberi minum dengan air yang seperti besi mendidih menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”

Sementara itu, sejumlah hukum agama seperti riddah (keluar dari ajaran Islam), kufr (kafir) yang oleh sebagian oknum dikatakan sebagai argumentasi untuk menolak ajakan toleransi, jelas merupakan kesalahan fatal dalam meletakkan hukum agama. Artinya, hukum agama tidak diletakkan dalam proporsinya yang benar sebagai jalan (syir'ah, minhâj) untuk sampai kepada Tuhan. Syariat bukanlah ghâyah --meminjam bahasa ushul fikih-- melainkan washîlah. Dalam ushul fikih, cukup kesohor adanya sebuah kaidah: al-Islâm murûnatun fi l-wasâ`il wa tsabâtun fi l-ghâyât (Islam bersifat lentur-elastis ketika berbicara tentang sarana pencapaian sebuah tujuan, namun sangat tegas ketika sudah menyangkut tujuan itu sendiri).

Di sini saya hanya ingin mengatakan sesuai kaidah tadi, bahwa tujuan (ghâyâh) dalam Islam yang merupakan sesuatu yang tegas dan tidak bisa ditawar-tawar adalah menjadikan agama ini sebagai “rahmatan lil ‘âlamîn”. Sebagaimana Allah Swt berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ (الأنبياء: 107)

Karenanya, marilah kita wujudkan Islam yang rahmat bagi semua, melalui toleransi umat beragama sebagai sebuah sarana (washîlah), apalagi ketika Islam telah mempunyai konsep yang jelas, mudah, aplikatif, rasional dan telah terbukti oleh sejarah, bahkan sebagai sebuah ajaran yang qath’iy yang mesti dijalankan.

Toleransi Merujuk Piagam Madinah
Hadirin sidang Jumat yagn dirahmati oleh Allah Swt...
Di dalam sejarah Islam dikenal sebuah dokumen maha penting dan strategis, bukan hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi umat manusia secara keseluruhan, karena berkaitan dengan HAM dan toleransi antar umat beragama.

Piagam Madinah yang lahir 14 abad lalu merupakan sebuah dokumen kesepakatan lintas agama dan ras yang diprakarsai oleh Rasulullah Saw dalam mengatur kehidupan beragama dan bermasyarakat di Madinah, berdasarkan prinsip keadilan, persamaan, kebebasan, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan. Baik bagi penduduk asli maupun pendatang yang berasal dari berbagai daerah di semenanjung Arab Saudi, utamanya Mekah, Madinah, dan kota-kota sekitarnya.

Pencerahan yang diprakarsai Rasulullah Saw ini menjadikan kota Madinah dikenal sebagai Madînat `ul Munawwarah atau kota yang bercahaya. Seorang orientalis Barat bernama Robert N. Bellah dalam bukunya Beyond Belief terbitan tahun 1976, pada halaman 150-151, mengatakan: “suatu masyarakat yang untuk zaman dan tempatnya sangat modern (bahkan terlalu modern)... Timur Tengah dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial yang modern seperti pernah dirintis Nabi Saw".

Adapun inti dari piagam madinah berisi tentang, pertama: pengakuan kaum muslimin tentang segmen masyarakat Madinah yang plural, namun merupakan satu kesatuan yang disebut ummat.

Kedua, hubungan anggota masyarakat antara yang beragama Islam dan non-Islam didasarkan pada prinsip bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, menasehati dan menghormati kebebasan beragama.

Ketiga, mekanisme penegakkan hal-hal yang baik, seperti melindungi harta dan jiwa, sistem keamanan, musyawarah, penegakkan hukum, keadilan, dan menghadapi bahaya

Keempat, segala persoalan akan diselesaikan secara musyawarah dan jika terjadi perselisihan antarkabilah yang tidak dapat diselesaikan, akan diserahkan pada kebijakan Nabi Muhammad SAW. Sebab kejujurannyalah, orang Yahudi dan Nasrani mengakui kemampuan Nabi dalam menyelesaikannya secara arif dan bijaksana, sebagaimana termaktub di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:
Secara lebih jelasnya, toleransi beragama dalam Piagam Madinah disinggung pada pasal 25 yang bunyinya: "Kaum Yahudi dari Banu Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka dan bagi kaum mukminin agama mereka. (kebebasan ini berlaku) Juga bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi orang yang berbuat kezhaliman dan kejahatan, merusak diri dan keluarga mereka”.
Komitmen Islam terhadap pluralitas dan toleransi dengan tegas disebutkan pada pasal 25 ini: "Kaum Yahudi bebas menjalankan agama mereka sebagai mana umat Islam bebas menjalankan agama mereka".
Dalam pasal 25 ini sangat jelas, bahwa agama tidak menjadi pemisah dan penghalang untuk dapat hidup berdampingan dalam sebuah negara. Kaum Yahudi dan Musyrikin tidak ditempatkan di lokasi yang diperangi (dar al-harb) dan kaum muslimin di lokasi aman (dar al-Islam). Tapi mereka hidup di satu tempat sebagai satu umat. Satu dengan yang lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan, hidup dengan penuh kedamaian (musâlamah). Tidak dikenal istilah warga kelas satu atau kelas dua, hanya karena perbedaan agama. Kebebasan di sini bukan saja agama tetapi juga mencakup kebebasan berfikir, berpendapat dan berkumpul.
Kebebasan beragama ini benar-benar diterapkan Nabi saw. Beliau melarang sahabat Hushayn dari Banu Salim Ibn 'Auf yang memaksa kedua anaknya yang Nasrani agar memeluk Islam, karena Nabi melihat bahwa beragama adalah hak setiap manusia. Begitu juga ketika Kabilah Aus memaksa anak-anaknya yang beragama Yahudi untuk masuk agama Islam dan segera bergabung dengan pasukan Rasulullah, beliau pun melarangnya. Karena memeluk suatu agama atau keyakinan adalah hak asasi manusia, selain efek dari keterpaksaan malah akan menimbulkan kebencian dan tidak melahirkan keyakinan yang mantap bagi pemeluk bersangkutan
Begitu besarnya perhatian Nabi kepada kaum non-muslim semisal Yahudi dan Nasrani, sampai-sampai beliau pernah mengingatkan umatnya agar tidak memusuhi mereka. Sebab keselamatan dan keamanan mereka menjadi tanggung jawab Rasulullah. Sampai-sampai Nabi Saw pernah bersabda: "Siapa yang memusuhi orang kafir dzimmi, berarti akulah lawannya, dan siapa yang aku telah menjadi lawannya, kelak di hari kiamat akulah lawannya.''

Di bidang hukum orang-orang non-Islam sebagai golongan minoritas memiliki kedudukan hukum yang sama dengan umat Islam, tidak ada diskriminasi, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Mereka bagian dari penduduk sipil, tidak boleh diganggu dan harus dilindungi.

Dalam hal kewajiban dan upaya mempertahankan masyarakat Madinah dari serangan pihak luar, golongan minoritas nonmuslim dibebani tugas yang sama, kecuali alasan tertentu mereka dibolehkan dengan syarat membayar pajak perlindungan. Demikian juga hak-hak mereka yang lain, seperti jiwa, harta, keluarga, fasilitas peribadatan dan jabatan keagamaan. Seperti pendeta dan rahib tetap dilindungi dan tidak boleh diambil alih atau diisi orang lain atau orang Islam.

Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh...
Melalui Piagam Madinah ini kita mengetahui, bahwa telah hadir 14 abad yang lalu suatu masyarakat maju (civil society) atas dasar wawasan kebebasan beragama, toleransi, kerukunan, persamaan dan persaudaraan antarsesama warga, yang terdiri atas berbagai suku, ras dan agama.

Dalam konteks kini, Piagam Madinah dapat kita aktualisasikan ke dalam kehidupan sehari-hari bangsa kita, Indonesia. Piagam Madinah menjadi sangat penting artinya untuk dipahami sehubungan dengan munculnya berbagai konflik bernuansa suku, agama dan ras yang tidak kunjung usai hingga saat ini.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَسْتًهْدِيْهِ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. أَمَّا بَعْدُ؛
Ma’âsyiral muslimîn rahimakumullâh...
Bercermin dari Piagam Madinah dan konsep Islam dalam bertoleransi, hendaknya setiap dari kita harus menyadari, bahwa Islam memerintahkan kepada umatnya untuk saling tenggang rasa dan toleransi dalam menjalankan ajaran agamanya masing-masing. Allah Swt sengaja menciptakan manusia berbilang bangsa dan suku hanya untuk menguji, mampukah manusia untuk hidup rukun dan damai penuh kasih sayang di dalam mencari kebenaran di sisinya.

Akhir-akhir ini, kebanggaan toleransi yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia telah luluh lantak oleh sederetan kekerasan, yang diakui atau tidak, sangat kental beraroma agama. Bagaimana tidak, pada tataran realitas, para pelaku tindak kekerasan yang sekaligus penganut agama kerap membakar tempat-tempat ibadah, seperti mesjid dan gereja. Ribuan nyawa telah melayang akibat konflik-konflik agama semacam ini.

Karena itu, perlu ada kemauan dan kebulatan tekad bersama untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan krisis multidimensial, akibat pemahaman agama yang minim. Bukan hanya dari kita sebagai warga muslim, tetapi juga dari mereka kalangan non-muslim. Sebab jika hanya di mulai dari satu sisi, bagai orang bertepuk sebelah tangan. Semua pihak hendaknya mau menyadari dan urun rembuk demi masalah yang lebih besar dan asasi.

Di antara langkah riil yang perlu kita tempuh adalah, mempersiapkan dai atau misionaris ‘militan’ yang bertugas mendistribusikan secara sinambung cita-cita toleransi beragama pada tingkat praktis di level akar rumput. Para elite intelektual yang suka gembar-gembor menyanyikan lagu “toleransi dan pluralisme" harus segera turun dari pentas dengan melibatkankan diri secara nyata dalam gerakan toleransi beragama. Dengan cara inilah, maka wacana toleransi tidak hanya melingkar-lingkar secara elitis di kalangan intelektual kota, melainkan justru dapat tembus pada masyarakat di bawah. Ini karena disadari, bahwa problem toleransi beragama tidaklah bersemayam pada diri para intelektual, tetapi malah di tingkat bawah. Sungguh, betapa pun ‘seksi’ dan canggihnya sebuah pemikiran dari sudut teologis-filosofisnya, jika tidak dapat diimplementasikan secara praktis, maka tidaklah banyak manfaatnya bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat manusia.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah materi kampanye mesti diarahkan terutama pada bidang-bidang mu'amalah diniyah. Artinya, kampanye menyangkut toleransi beragama sejauh mungkin dihindari dari perbincangan tentang perbedaan ajaran masing-masing agama. Perbedaan pada wilayah itu memang tidak akan pernah menemukan titik temu karena dari sananya telah terformat secara demikian.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَارْضَ عَنْ سَادَاتِنَا أَصْحَابِ رَسُوْلِكَ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ اِلَي يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ مَا عَلِمْنَا مِنْهُ وَمَا لَمْ نَعْلَمْ. اَللَّهُمَ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ وَآمِنْهُمْ فِيْ أَوْطَانِهِمْ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاسْأَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.وَأَقِمِ الصَّلاَةِ!

Mengingat mati

MENGINGAT MATI

الحمد لله العزيز الغفور، الذي جعل في الإسلامِ الحنيفِ الهُدَي والنور، الذي قال ] وما الحياةُ الدنيا إلا مَتَاعُ الغرور[ ، نحمده سبحانه وتعالي حَمْدَ مَنْ نَظَرَ فَاعْتَبَر، وَكَفَّ عن المساويءِ وازْدَجَر، وعَلِمَ أن الدُّنيا ليست بدار مَقَرّ، وأشهد أن لا إله الله خلق الخلائق وأحكامَها، وقدّر الأعمار وحدّدها، وهو باقٍ لا يفوت وهو حيّ لا يموت، وأشهد أن محمدا عبدُه ورسولُه، أَمَرَ بتذكير الموتِ والفناء، والاستعدادِ ليوم البَعْث والجزاء.
اللهم صلي الله علي سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلي آله الطيبين وأصحابه الأخيار أجمعين. أما بعد.
Hadirin sidang Jum’at yang dimuliakan oleh Allah Swt....
Pada kesempatan yang berbahagia ini, izinkanlah saya berwasiat, baik bagi diri saya sendiri, maupun bagi hadirin sekalian, untuk selalu dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan diri kita kepada Allah Swt. Karena hanya dengan landasan keimanan dan ketakwaan sajalah, kita akan dapat selamat, baik di dunia, maupun di akhirat.

Dalam khutbah Jum’at kali ini, saya tidak akan membawakan tema baru. Justeru saya ingin sedikit mengendapkan maklumat-maklumat hadirin sekalian yang terdahulu, dan saatnya sekarang untuk sedikit merenungi dan mengingat-ngingat kembali, maksud dan tujuan dari khutbah Jumat yang amat banyak tersebut. Karenanya, berdirinya saya di sini, hanya untuk kembali mengulang dan mengulang, hanya untuk kembali mengingatkan kita semuanya, baik bagi diri saya maupun bagi hadirin sekalian yang dimuliakan oleh Allah Swt. Seiring dengan firman Allah:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ( الذاريات: 55)
“Ingatkanlah olehmu, sesungguhnya peringatan itu sangat bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (Adzdzaariyaat: 55).”

Maka berlandaskan firman tadi, pada kesempatan yang berbahagia ini, saya kembali mengajak hadirin sekalian untuk merenungi maksud dan tujuan hidup ini, melalui sebuah sarana, yang barangkali dapat mengimbangi gerak langkah hidup kita di dalam mengarungi hiruk-pikuknya bahtera dunia ini, mudah-mudahan dapat sedikit memotifasi diri kita semua di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt, yaitu melalui sarana “mengingat mati”.

Hadirin sidang Jumat yang dirahmati oleh Allah Swt....
Hidup hanyalah tempat persinggahan sementara. Adapun kematian, sesungguhnya merupakan awal kehidupan manusia yang kekal dan abadi. Nabi Saw bersabda:

مَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا إِلَّا كَرَاكِبٍ سَارَ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ فَاسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا (رواه إبن ماجه وأحمد).
“Aku dan dunia bagaikan seseorang yang tengah mengadakan perjalanan di suatu hari yang panas, lalu berteduh sejenak di bawah rindangnya sebuah pohon, lantas pergi meninggalkan pohon itu untuk melanjutkan kembali perjalanan panjang”. (HR. Ibnu Mâjah dan Ahmad).

Allahpun berfirman:
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(32)
“Kehidupan di dunia ini bagaikan permainan dan senda gurau belaka. Sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak berpikir?” (QS. Al-Anâm [6]: 32)

Begitu jelas makna hadis dan ayat tadi. Logikanya, kalau kehidupan ini bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya persinggahan sementara untuk sebuah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan, maka bekal apakah yang seharusnya kita siapkan untuk sebuah perjalanan yamg maha panjang tersebut? Di antara hal yang dapat memotivasi diri kita untuk mempersiapkan bekal tersebut dengan sebaik-baiknya adalah memperbanyak mengingat mati.

Nabi Saw bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ (رواه الترميذي وابن ماجه).
"Perbanyakkanlah mengingati mati, niscaya kalian akan dapat menyepelekan kelezatan dunia”. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kalaulah kita bersedia untuk selalu mengejar harta, pangkat dan jabatan yang hanya sementara, bahkan belum tentu semua itu dapat kita rasakan, mengapa kita tidak bersedia untuk mempersiapkan diri kita kepada hal yang sudah pasti akan kita rasakan. Bukankah kenyataan hidup selama ini mengatakan, bahwa umur manusia ada akhirnya ? Bukankah Allah Swt sudah jelas-jelas berfirman:
كل نفس ذائقة الموت. (آل عمران: 185)
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati”. (Ali Imran: 185) Tidak ada yang bisa menahan dan menghalanginya.
فإذا جاء أجلهم لا يستاخرون ساعة ولا يستقدمون. (النحل: 61)
“Jika telah datang ajalnya, maka tidak dapat diakhirkan atau dimajukan, walaupun hanya sesaat”. (An-Nahl: 61).

Suatu hari nabiyullah Yakub As berjumpa dengan malaikat pencabut nyawa, Izrail As. Beliau menginginkan di saat ajalnya sudah mendekat, agar diberitahu terlebih dahulu sebelumnya, sehingga menjadi lebih siap di dalam menghadapi sakaratul maut yang akan dia hadapi. Oleh karenanya, Nabiyullah Ya’kub meminta malaikat pencabut nyawa, untuk mengirimkan utusannya terlebih dahulu sebelum dicabut nyawanya.
Suatuk ketika, di saat malaikat maut datang menjemput Nabi Yakub As untuk mencabut nyawanya, beliau bertanya, "Bukankah dulu pernah aku bilang kepadamu untuk dikirimkan utusan terlebih dahulu sebelum engkau mencabut nyawaku?" Malaikat maut menjawab, "Demi Allah, telah banyak utusanku datang memberi peringatan kepadamu wahai nabiyallah”, Dengan agak heran nabi Yakub berkata, "Aku tidak pernah tahu dan tidak pernah mengenalnya?" Malaikat maut pun menjawab, "Bukankah telah datang utusanku berupa sakit, uban, pendengaran berkurang dan penglihatan yang mulai kabur?"

Abu Dzar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, "Berziarah kuburlah kalian, karena dia dapat mengingatkan kamu kepada akhirat. Mandikanlah orang mati karena mengurus orang mati dapat menjadi peringatan yang cukup mendalam bagimu. Shalatkanlah jenazah karena ia dapat menyedihkan hati kamu. Sedangkan orang yang bersedih karena Allah Swt, berarti dia bersedia untuk melaksanakan amal kebajikan.

Sakitnya Sakaratul Maut
Hadirin yang dimuliakan oleh Allah Swt...
Mengenai sakitnya sakaratul maut, ada sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ikrimah dari Ibnu Abbas Ra: Suatu ketika, pernah Nabi Ibrahim As berdialog dengan Malaikat Maut tentang sakaratulmaut. Khalilullah ini bertanya, “Dapatkah engkau memperlihatkan rupamu kepadaku saat engkau mencabut nyawa manusia yang gemar berbuat dosa?” Malaikat menjawab pendek: “Engkau tidak akan sanggup.”“Aku pasti sanggup,” tegas nabi Ibrahim. “Baiklah, berpalinglah dariku,” pinta si Malaikat.

Saat Nabi Ibrahim as berpaling kembali, di hadapannya telah berdiri sesosok makhluk berkulit legam dengan rambut berduri, berbau teramat busuk, dan berpakaian serba hitam. Dari hidung dan mulutnya tersembur jilatan api. Seketika itu pula Nabi Ibrahim as jatuh pingsan! Ketika tersadar kembali, beliau pun berkata kepada Malaikat Maut, “Wahai Malaikat Maut, seandainya para pendosa itu hanya diperlihatkan keburukan rupamu saja di saat kematiannya, niscaya itu sudahlah cukup sebagai hukuman atasnya.”

Dari beberapa riwayat, selain nabi Ibrahim As, nabi Idris, dan Daud , Nabi Isa as juga pernah dihadapkan pada fenomena penampakan Malaikat Maut. Kesimpulan dari semua itu, bahwa sakaratulmaut belum seberapa bila dibandingkan dengan sakaratulmaut itu sendiri. Sakaratulmaut adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan rasa sakit yang menyerang inti jiwa manusia dan menjalar ke seluruh bagian tubuh, sehingga tak satu pun bagian badan yang terbebas dari rasa sakit itu. Malapetaka paling dahsyat di kehidupan paripurna manusia ini, memberi rasa sakit yang berbeda-beda pada setiap orang, tergantung amal dan ibadahnya.

Untuk menggambarkan rasa itu, pernah Rasulullah S.A.W berkata: “Kematian yang paling mudah adalah serupa dengan sebatang duri yang menancap di selembar kain sutera. Lantas Nabi bertanya, apakah duri itu dapat terambil begitu saja tanpa membawa bagian sutera yang koyak?”

Pada kesempatan lain Nabi Saw bersabda: “Sakitnya sama dengan tiga ratus tusukan pedang.”
Diriwayatkan, ketika ruh Nabi Ibrahim as akan dicabut, Allah SWT bertanya kepada Ibrahim: “Bagaimana engkau merasakan kematian wahai khalilullah (khalilullah berarti sahabat Allah)?“ Beliau menjawab, “Seperti sebuah pengait yang dimasukkan ke dalam gumpalan bulu basah yang kemudian ditarik.”“Yang seperti itulah, sudah Kami ringankan atas dirimu,” kata Allah Swt.

Rasulullah S.A.W sendiri menjelang akhir hayatnya berucap: “Ya Allah ringankanlah aku dari sakitnya sakaratulmaut” berulang hingga tiga kali. Padahal telah ada jaminan dari Allah SWT bahwa beliau akan masuk surga. Mari kita bandingkan tingkat keimanan dan keshalehan beliau dengan diri kita, yang hanya manusia biasa ini.

Proses Sakaratul Maut
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah....
Bagaimanakah sebenarnya proses sakaratul maut itu telah berlaku pada manusia? Dalam hal ini baginda Rasullullah Saw telah memberitahukan kita: Apabila telah sampai ajal seseorang, maka akan masuklah satu kumpulan malaikat ke dalam lubang-lubang kecil di dalam badannya, lalu mereka menarik rohnya melalui kedua telapak kakinya hingga sampai kelutut. Setelah itu datang sekumpulan malaikat yang lain, masuk untuk menarik roh dari lutut hingga sampai ke perut, kemudian mereka pun keluar. Datang lagi satu kumpulan malaikat yang lain masuk dan menarik rohnya dari perut hingga sampai ke dada, setelah itu mereka pun keluar.

Dan akhir sekali, datang lagi satu kumpulan malaikat masuk dan menarik roh dari dadanya hingga sampai ke kerongkong, itulah yang dinamakan dengan saat nazak orang tersebut.

Rasullullah S.A.W. melanjutkan: "Jika orang yang nazak itu orang beriman, maka malaikat Jibrail A.S. akan menebarkan sayapnya yang kanannya sehingga orang yang nazak itu dapat melihat kedudukannya di syurga. Di saat orang yang beriman itu melihat syurga, dia akan lupa kepada orang yang berada disekelilinginya, akibat kerinduannya yang teramat sangat kepada syurga, dia melihat terus apa yang dilihatnya pada sayap Jibrail As." Adapun, jika orang yang nazak itu orang munafik, maka Jibrail As. akan menebarkan sayap kirinya. Maka orang yang nazak itu dapat melihat kedudukannya di neraka dan dalam masa itu orang itu tidak lagi melihat orang disekelilinginya, akibat terlalu takutnya dia melihat neraka yang akan menjadi tempat tinggalnya kelak.

Ketika ruh manusia telah keluar dari jasadnya, berarti dia telah memasuki alam baru, bukan alam dunia lagi melainkan alam Barzah, alam pemisah antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, menunggu hari perhitungan.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنْزِلٍ مِنْ مَنَازِلِ الْآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ (رواه النرمدي وابن ماجه واحمد).
"Kuburan adalah awal kehidupan akhirat. Jika seseorang selamat daripadanya, maka kehidupan setelahnya menjadi lebih mudah. Namun, jika ia tidak selamat daripadanya, maka kehidupan setelahnya lebih mengerikan.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah suatu hari menasehati para sahabatnya, beliau berkata: Jika kalian melewati kuburan, lihatlah... betapa sempitnya rumah-rumah mereka sekarang.
-Tanyakan kepada orang-orang kaya mereka, masih tersisakah harta mereka?
-Tanyakan pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masih tersisakah kemiskinan mereka?
-Tanyakan tentang lisan yang dengannya mereka berbicara, sepasang mata yang dengannya mereka melihat indahnya pemandangan?.
-Tanyakan pula tentang kulit-kulit nan lembut dan wajah-wajah cantik jelita, tubuh-tubuh yang halus-mulus, apa yang diperbuat oleh ulat-ulat di balik kain kafan mereka? Lisan-lisan itu telah hancur, wajah-wajah cantik jelita itu telah dimakan ulat, anggota badan mereka telah terpisah-pisah berserakan.
-Lalu di mana pelayan-pelayan mereka yang setia?
-Di mana tumpukan harta dan sederetan pangkat mereka?
-Di mana rumah-rumah gedong mereka yang banyak dan menjulang tinggi?
-Di mana kebun-kebun mereka yang rindang dan subur?
-Di mana pakaian-pakaian mereka yang indah dan mahal?
-Di mana kendaraan-kendaraan mewah kesukaan mereka?
-Bukankah mereka kini berada di tempat yang sangat sunyi?
-Bukankah siang dan malam bagi mereka sama saja?
-Bukankah mereka berada dalam kegelapan?
-Mereka telah terputus dengan amal mereka. Mereka telah berpisah dengan orang-orang yang sangat mereka cintai, dengan harta yang mereka puja-puja, dengan gaya hidup yang mereka banggakan. Orang-orang yang mereka cintai tidak mau ikut bersamanya, harta yang mereka tinggalkan malah akan menjadi beban jika digunakan bukan di jalan yang Allah ridhai. Ketika itu, yang masih bermanfaat hanyalah tiga: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang shaleh yang mendo’akan dirinya.” Demikianlah nasehat dari Umar bin Abdul Aziz.

Muhammad bin Shabih berkata, “telah sampai berita kepada kami, bahwa manakala seseorang telah diletakkan di kuburannya, lalu disiksa atau mendapatkan sesuatu yang dibenci, tetangga kuburnya dari orang-orang yang telah meninggal sebelumnya berkata kepadanya, 'Wahai pendatang baru, tidakkah engkau mengambil pelajaran dari kami? Tidakkah engkau merenungkan kematian kami yang mendahuluimu? Bukankah engkau mengetahui bahwa amal kami telah terputus, sementara engkau masih diberi waktu? Mengapa tidak engkau kejar apa yang tidak diperoleh oleh saudara-saudaramu ini?

Relevan dengan firman Allah Swt:
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. (المؤمنون: 99-100)
"hingga datanglah kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ya tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal shaleh dari apa yang telah aku tinggalkan (dahulu). Sekali-kali tidak. Itu hanyalah omongan belaka (yang tidak bermanfaat) dan di hadapan mereka ada dinding pembatas sampai hari mereka dibangkitkan." (Al-Mu'minun: 99-100).

Sebab Siksa Kubur
Ma’aasyiral muslimin rahimakumullah....
Disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziah rahimahullah ta’ala, bahwa siksa kubur itu ditimpakan karena berbagai macam dosa dan maksiat, di antaranya adalah:
1. Adu domba dan menggunjing.
2. Tidak bersuci (cebok) setelah buang air kecil.
3. Shalat dalam keadaan tidak suci (kotor).
4. Berdusta.
5. Lalai dan malas dalam mengerjakan shalat.
6. Tidak mengeluarkan zakat.
7. Berzina.
8. Mencuri.
9. Berkhianat.
10. Menfitnah sesama umat Islam.
11. Makan riba.
12. Tidak menolong orang yang dizhalimi.
13. Minum khamar (kalau jaman sekarang seperti: minum sempain, ngeplay, ngegele, sabu-sabu, ekstasy dan sejenisnya).
14. Memanjangkan kain hingga di bawah mata kaki (menyombongkan diri).
15. Membunuh.
16. Mencaci sahabat Nabi.
17. Mati dalam keadaan membawa bid'ah.

Yang Menyebabkan Selamat dari Siksa Kubur
Adapun kiat agar kita tidak terkena siksa kubur, Imam Ibnu Qayyim memberitahukan sebagai berikut: sebab-sebab kita di seselamatkan dari siksa kubur adalah dengan menjauhkan berbagai macam maksiat dan dosa. Untuk itu, Ibnu Qayyim menganjurkan, hendaknya setiap muslim melakukan perhitungan atas dirinya setiap hari, tentang apa saja dosa dan kebaikan yang telah dilakukannya pada hari itu. Setelah itu, ia memperbaharui taubatnya kepada Allah setiap hari, terlebih di saat ia hendak tidur malam. Jika ia meninggal dunia pada malam itu, maka ia meninggal dalam keadaan telah bertaubat. Jika ia bangun dari tidurnya, ia bersyukur karena ajalnya masih ditangguhkan. Dengan demikian, ia masih diberi kesempatan beribadah kepada Rabbnya dan mengejar amal yang belum dilakukannya. Imam Ibnu Qayyim menambahkan, “sebelum tidur, hendaknya pula dia berada dalam keadaan berwudhu, senantiasa mengingat Allah dan mengucapkan dzikir-dzikir yang disunnahkan Nabi saw sampai ia tidur atau tertidur. Jika seseorang dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya dia akan diberi kekuatan untuk melakukannya.

Kemudian Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan beberapa ketaatan yang bisa menyelamatkan kita dari siksa kubur, di antaranya adalah:
Yang pertama, Rajin beribadah dan taat kepada Allah Swt dengan ikhlas.
2. Mati syahid di jalan-Nya.
3. Membaca surat Al-Mulk.
4. Meninggal karena sakit, dan terakhir:
5. Meninggal dunia pada hari Jum'at.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لي ولكم وللمسلمين، فَاسْتَغْفِرُوْهُ،،، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH JUMAT BAGIAN II
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الأزْمَانِ وَالآنَاءِ، فَلا ابْتِدَاءَ لوجوده ولا انتهاءَ، يستوي بعلمه السرُّ والخفاءُ، القائلِ: (وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا). أشهد أن لا الع إلا الله الكبير المُتَعَالِ، المُنَزَّهُ عن الشبيه والمِثال، الذي يسبِّح بحمده كلُّ شيء في الغُدُوِّ والآصال. وأشهد أن محمدا عبده رسوله الذي حذّرنا من دار الفتون، المُنْزَلُ عليه (إنك ميّتٌ وإنهم ميتون). اللهم صلي الله علي سيدنا محمد خاتم الأنبياء والمرسلين وعلي آله الطيبين وأصحابه الأخيار أجمعين. أما بعد.

Mati Tidak Perlu Ditakuti Melainkan Sebagai Motifasi Hidup
Hadirin... sidang jumat yang dimuliakan oleh Allah Swt....
Betapa pun sakitnya sakaratul maut. Kematian, semestinya tidak menjadi sesuatu yang perlu ditakuti, tapi sebaliknya harus senantiasa dirindukan. Jika sesuatu itu begitu dirindukan, logikanya, berarti ingin segera bertemu. Kalau ingin bertemu berarti dia sudah menyiapkan dirinya dengan bekal amal ibadah di dunia ini. “Barangsiapa membenci pertemuan dengan Allah, maka Allah akan benci bertemu dengannya,” demikian sabda Rasulullah Saw.

قال الله تعالي: فمن كان يرجو لقاء ربه فاليعمل عملا صالحا. (الكهف: 110)
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Allah swt, maka dia harus berbuat baik”. (Al Kahfi: 110).

Husnulkhotimah, adalah sebuah karunia Allah SWT yang khusus diberikan kepada manusia istimewa. Tidak ada ceritanya dalam hidup ini istilah “muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga”. Husnul khotimah itu seperti hadiah untuk manusia, atas upaya manusia yang sungguh-sungguh di dalam menjalankan tugas hidup di dunia ini. “Seperti mahasiswa yang belajar mati-matian, lalu lulus dengan predikat summa cum laude.”

Jadi kita jangan pernah berpikir bagaimana supaya kita bisa mendapatkan Husnulkhotimah terlebih dulu, tanpa amal nyata. “Kata-kata mati, harusnya mampu kita hadirkan dalam hati kita setiap hari,”

Sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa dengan sering-sering mengingat mati menjadikan seseorang menjadi makhluk yang produktif, cermat, dan selektif, adalah benar adanya. Ini karena setiap pekerjaan yang dilakukannya dianggap sebagai pekerjaan terakhirnya. Karena maut bisa datang kapan dan di mana saja.

Sekali lagi saya katakan, kalaulah kita bersedia untuk selalu mengejar harta, pangkat dan jabatan yang hanya sementara, bahkan apa yang telah kita raih dari harta, pangkat dan jabatan tersebut, hanyalah segelintir saja yang mampu kita rasakan dan nikmati, sebatas yang bisa masuk ke dalam perut dan kebutuhan pribadi kita. Lalu mengapa, kita tidak bersedia untuk mempersiapkan diri kita kepada hal yang pasti akan kita rasakan. Mengapa kita tidak bersedia menjadikan harta, pangkat dan jabatan yang telah kita raih, untuk bekal di akhirat kelak? Mengapa kita tidak bersedia menjadikannya sebagai sarana untuk memperoleh ridha Allah Swt? Sedangkan perjalanan akhirat sangatlah panjang dan kekal abadi, sebelum datang penyesalan, karena penyesalan tidak akan mungkin datang lebih dahulu.

Allah Swt berfirman:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ(34) وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ(35)وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ(36) لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ(37).
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Lari dari Ibu Bapaknya. Lari dari isteri dan anaknya. Pada hari itu, setiap orang sibuk dengan urusannya masing-masing.

Semoga Allah Swt berkenan untuk menjadikan kita termasuk kepada orang-orang yang tidak kikir di dalam menafkahkan harta, pangkat dan jabatan di jalan Allah Swt. Karena amal ibadah semacam ini pada hakikatnya adalah untuk kebahagiaan diri kita sendiri.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهم صلي وسلم وبارك علي سيدنا محمد وعلي آل سيدنا محمد وارض عن ساداتنا أصحاب رسولك صلي الله عليه وسلم ومن تبعهم بإحسان الي يوم الدين. اللهم اغفرلنا ذنوبنا واستر عيوبنا وطهر قلوبنا وأصلح نياتنا وعافنا واعف عنا وعلي ذكرك وشكرك وحسن عبادتك أعنا وعن بابك فلا تطردنا واختم بالصالحات أعمالنا يا إله العالمين. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ. ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذا النار. وصل اللهم علي سيدنا محمد النبي الأمي وعلي آله وأصحابه الأخيار ومن تبعهم بإحسان الي يوم الدين. آمين يا رب العالمين.

عباد الله: إن الله يأمركم بالعدل والإحسان وإيتاء ذي القربي وينهي عن الفحشاء والمنكر والبغي يعظكم لعلكم تذكرون. أقم الصلاة!